BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 20 September 2011

The Sadness Part of My Life


KINI ORANG NOMOR SATU ITU TELAH TIADA
            Menjelang selesainya ujian semester kegembiraan terpancar dari seorang anak muda perantauan yang kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah. Hidup sendiri jauh dari keluarga membuat dirinya semakin kokoh mandiri pada setiap lika-liku kehidupannya. Sosok dinamis dan ambisius menjadi catatan yang mengiringi alur langkahnya, namun dibalik itu ternyata ia seorang pemuda yang rapuh. Ada kata-kata yang selalu ia tanamkan dalam benaknya “Aku tidak perlu menjadi orang yang terbaik tapi aku harus sejajar dengan orang-orang terbaik”.
“Richie” begitu orang-orang memanggilnya, ia adalah anak ke tujuh dari delapan bersaudara.  Seperti halnya mahasiswa lain, selesai ujian mereka bersukacita merayakannya. Dari mulai perayaan sederhana, religius, hingga perayaan yang aneh-aneh, hmm.. hal yang lumrah di dunia pendidikan, apalagi dunia mahasiswa yang menyandang predikat tertinggi dari label siswa. Lain halnya dengan Richie bersama salah seorang temannya “Arif”, selesai ujian mereka berencana mengikuti program magang di Jakarta. Malam itu ia membereskan segala perlengkapan yang dibutuhkan untuk magangnya. Keesokan harinya ia dan Arif bergegas siap-siap untuk berangkat ke jakarta, namun apa yang terjadi? ternyata magangnya ditunda hingga bulan depan. Raut kedua wajah orang itu terlihat muram dan nampak tak ada semangat untuk melanjutkan program magangnya itu.
Entah kenapa akhir-akhir ini sang ambisius merasa gundah dan tidak nyaman berada di kost tempat ia tinggal, ingin rasanya ia segera pulang. Namun ia tegaskan “nanti saja aku pulang setelah urusan dikampus selesai, lagi pula masih ada proyek karya ilmiah bersama teman-teman”. Ada apa sebenarnya dengan Richie? Hari-harinya sama sekali tidak tersisipi rasa semangat, seolah ada yang mengganggu difikirannya. Suatu hari ada salah seorang teman kostnya “Udha” yang mengajak ia untuk ikut pulang ke rumahnya. Tidak berfikir panjang ia pun ikut ke rumah teman kost-nya itu, “sekalian refreshing mengisi kegundahan” dalam benaknya.
Siang hari itu selepas menyelesaikan urusan di kampus dengan menggunakan sepeda motor, ia dan Udha bergegas berangkat karena awan mendung bisa saja tiba-tiba mengguyur dengan siraman hujan yang akan membasahi mereka diperjalanan. Lagi-lagi masih saja kegundahan itu menyelimuti benaknya, “ada apa gerangan?” fikirannya pun terfokus pada keluarga di rumah, Segara ia mengirim pesan pada adiknya, “apakah keluarga di rumah baik-baik saja?” adiknya menjawab “alhamdullah keluarga dirumah semuanya baik”.
Tapi entah kenapa ia langsung teringat pada ibunya, mungkin saja rindu karena sudah lama tidak bertemu. Sebenarnya satu minggu menjelang ujian semester sebelumnya, ia menelepon ibunya untuk menanyakan kabar dan meminta mendo’akan agar ujian semesternya berhasil. Ketika ditanya kabar oleh ibunya, richie selalu menjawab yang baik-baik saja walaupun pada waktu itu keadaan ia sedang sakit, karena ia tidak ingin ibunya mendengar kabar yang tidak baik. Ketika di telepon, sambil menangis ibunya bercerita kalau beberapa hari lalu ia masuk rumah sakit karena keluhan jantung, ternyata jantungnya sudah lumayan parah dan harus berobat jalan. Richie sangat sedih mendengar keadaan ibunya yang seperti itu.
Tidak terasa akhirnya sampai juga di rumah Udha, perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Selepas makan malam segera mereka beristirahat dan mempersiapkan diri untuk hari esok. Udara segar yang berhembus masuk saat jendela kamar dibuka mengawal berjalannya hari itu. Badminton adalah olah raga yang mereka pilih untuk sekedar meregangkan otot-ototnya selepas perjalanan kemarin yang lumayan jauh. Ia diajak Udha bermain badminton dilapangan depan rumah bibinya. Serentak ia terkaget ketika melihat wajah bibinya Udha, “lho wajahnya kok mirip dengan ibu saya” sekali lagi terlintas dibenaknya hanya ada ibu..ibu..dan ibu. Pada hari itu nuansa terlihat sedikit berbeda kala  mentari cuma mengintip di ufuk timur.
Tangisan Sepanjang Malam
Sore hari mereka hendak mengunjungi salah satu rumah temannya yang kebetulan tinggal tak jauh dari rumahnya Udha. Ketika diperjalanan handphone Richie yang disimpan disaku sebelah kanan celana jeans-nya bergetar sambil berdering, ternyata keluarga di rumah menelepon dan menyuruh ia untuk segera pulang saat itu juga. Heran dan penuh tanda tanya, apa sebenarnya yang terjadi disana? Saat itu langsung pihak keluarga mengabarkan kalau ibunya sudah tiada. Kaget, sedih dan merasa tidak percaya, seolah mendengar petir yang menggelegar dahsyat.
Tetesan air mata pun mulai keluar dari matanya, “kini orang nomor satu itu telah tiada”. Sejenak Udha menenangkannya “sudah tenang dulu mari kita pulang ke rumah ku dan kita cari cara yang paling cepat untuk sampai ke rumah kamu”, mereka pulang dengan hati yang pilu. Sesampainya dirumah, ibunya Udha langsung mengambil peran keibuannya dengan merangkul dan mengusap bahunya Richie yang saat itu tak henti-hentinya mengeluarkan air  mata. Sedangkan bapak dan kakanya udha sibuk mencarikan kendaraan untuk mengantarkan richie pulang ke rumahnya.
Telepon pun terus berdering, pihak keluarga mendesak richie agar sesegera mungkin pulang ke rumah. Ia hanya berpesan kepada keluarganya agar jenazah ibunya jangan dikebumikan dahulu karena ia sudah lama tidak bertemu. Ia merasa kehilangan sekali, hanya air mata dan ratapan kosong yang kini bersamanya. Ketika perjalanan pulang menuju rumah, pandangannya hanya terfokus pada jalan raya namun hatinya sebenarnya sudah di rumah. Lampu-lampu jalanan seolah menyudutkan ia pada silauan hati yang pilu, gemetar, dan tak henti-hentinya menangis sepanjang perjalanan malam itu. Sambil mengusap bahunya Udha pun mencoba trus menenangkan suasana, begitu juga bapak sopir yang mengantar mencoba memberikan motivasi agar ia mengikhlaskan kepergian ibunya itu.
Anak yang ditunggu itu akhirnya datang juga, isak tangis disambut haru oleh keluarga. Segera ia memeluk kaka tertuanya yang berdiri menyambut kedatangan ia di halaman dekat pintu masuk, disambut lagi pelukan dari bapak tercinta yang juga berderai air mata. Bahunya dirangkul oleh bapaknya dan kemudian diajak masuk untuk melihat ibunya yang sudah terbujur kaku. Setelah berjalan beberapa langkah ia berhenti sejenak seolah berat beban dipundak hingga kaki menyeru untuk tidak melangkah lagi, namun bapaknya mencoba membuat ia tetap tegar. Ibu..ibu..ibu.. tak hentinya ia memandangi jenazah ibunya itu dengan derai air mata yang jatuh dan sesekali di usap menggunakan lengan jaket yang ia kenakan. Dikecuplah kening ibunya dengan kecupan yang penuh kasih sayang. Ibu..ibu..ibu.. 
Kecupan terakhir dari ia dan keluarganya sebelum jenazah ibunya di kebumikan membuat setiap orang yang datang terharu dan terurai air mata. Ia memikul jenazah ibunya untuk di sholatkan hingga ke tempat pemakaman. Bahkan ia ikut masuk ke dalam liang lahat untuk menguburkan ibunya. Setelah pemakaman selesai semua orang meninggalkan kuburan, kecuali richie yang tertahan untuk melangkahkan kaki dari kuburan ibunya itu. Tangan kanan yang masih menyentuh kuburan diiringi tangisan yang teramat sedih, mendorong salah satu kakaknya merangkul ia untuk segara meninggalkan tempat peristirahatan ibunya yang terakhir. Rupanya kejadian itulah yang menyebabkan anak muda itu begitu terlihat rapuh, bahkan sangat rapuh. Ia merasa belum memberikan yang terbaik untuk ibunya, ketika masih kecil ia sering membantah perintah ibunya dan kadang suka marah pada ibunya. Ia sadar betapa berat ditinggalkan oleh seorang ibu. Seraya ia berdo’a “Ibu adalah milikNya dan kepadaNyalah ibu kembali, semoga ibu mendapat tempat yang layak disisiNya, amin”.